Cerpen Afifah Muharikah Saat itu Ahmed dan Barden berlarian di tengah pepohonan lebat. Mereka saling melemparkan berbatuan kecil ke sesama. Di sela tawa mereka, tiba-tiba Ahmed berteriak sambil mengacungkan telunjuk kanannya ke arah pohon besar bejarak sepuluh meter di mukanya. Ada kera, Ahmed! teriak Barden, semangat. Ahmed melemparkan pandangannya tepat pada kera berwarna cokelat kekuningan yang sedang bergelayutan di atas pohon. Hanya satu, ya?! tanya Ahmed. Nada suaranya seolah mengharapkan ada banyak kera di sana. Sepertinya iya, Ahmed, timpal Barden, matanya menjelajahi pepohonan lain di sekitar mereka. Apa mungkin kera itu tersesat? Karena jarang sekali ada binatang liar yang muncul di hutan seperti ini. Ahmed mengangguk pelan. Ia dan sahabatnya Barden sedang mencari kayu bakar di hutan ini. Walau ini disebut hutan, pepohonan lebatnya agak jarang. Lain dengan hutan di sebelah tenggara sana, hutan di sana agak lebat dan penuh dengan binatang liar. Barden mengendap-endap ke arah pohon yang dihinggapi kera kuning itu. Seolah menyadari dirinya diintai sesuatu, sang kera melompat ke pohon lain. Hey, kera!! Kemari!! teriak Barden. Ahmed tertawa mendengar Barden bicara seperti itu. Kau kira kera itu manusia, ya, yang jika dipanggil maka akan menyahut dan menghampiri? Barden Barden Kera itu hewan!! Barden tak memperdulikan olokan Ahmed. Kakinya dengan semangat mengejar kera kuning liar itu berharap ia dapat membawanya pulang dan menunjukkan kepada anak-anak lain di sana nanti. Tapi, semakin Barden semangat mengejar, semakin semangat pula kera itu bergelayutan ke lain pohon.Ahmed yang sedari tadi ikut menjelajahi tapak Barden dari belakang tiba-tiba berhenti dan berteriak kepada Barden, Awas!!! Ada sarang lebah, Barden!!! Spontan Barden menghentikan langkahnya. Lalu matanya memandangi pepohonan lebat di sekitar. Masih jauh! Pohon yang itu, bukan? tunjuk Barden ke arah Ahmed.Ahmed mengangguk. Melihat Barden berhenti dari pengejaran, sang kera kuning pun berhenti dari penjelajahannya di banyak pohon.Iya! Memang masih jauh. Tapi, jika kau terus berlari, maka kera itu bisa saja menabrak sarang lebah itu. Yang celaka bukan hanya kera itu melainkan kita berdua juga, ujar Ahmed. Barden mengangguk. Lalu, pandangannya terlempar ke arah kera kuning. Kalau begitu kita harus katakan pada kera itu agar ia tak meloncat ke arah pohon di mana ada sarang lebahnya. Ahmed kali ini ingin sekali mengatai Barden bodoh. Tapi, ia urungkan. Hei, Kera! Jangan ke pohon itu!! Nanti kau celaka!! teriak Barden. Tanpa disadarinya kakinya melangkah mendekati arah pohon di mana kera kuning itu bergelayutan. Hal itu membuat sang kera ketakutan dan akhirnya meloncat. Barden terus melangkah sambil memperingati, kera itu meloncat lagi. Hingga akhirnya, apa yang ditakutkan Ahmed terjadi: Sang kera menghantam sarang lebah. Ahmed dan Barden berlari kencang. Naluri mereka mengatakan untuk cepat keluar dari hutan dan mencari persembunyian. Di sela lari mereka, terdengar suara sengatan lebah yang mengerumun dan lengkingan kera yang begitu keras. Barden terlihat gemetar akan kedua hal itu. Keduanya terjun ke arah genangan air. Keduanya selamat. Keesokan harinya sekumpulan anak-anak pantai mengerumuni Barden. Dengan kobaran semangat yang berapi-api ia menceritakan pengalamannya sore kemarin. Lalu lebah-lebah itu menyerang sang kera. Dan aku tak tahu apa yang terjadi dengan sang kera yang padahal sudah kuperingatkan lebih dulu. Barden! Kau ini bodoh, ya? timpal salah satu anak.Barden melotot ke arah anak itu, Maksudmu?Kera itu kan hewan! Mereka bodoh dan tidak bisa mencerna apa yang dikatakan manusia. Jadi buat apa diperingatkan? Beberapa anak lainnya tertawa mendengar ocehan bocah tujuh tahun yang lebih muda empat tahun dari Barden. Barden acuh terhadap tawa anak-anak itu. Lalu, ia kembali menceritakan petualangannya dengan Ahmed ketika harus lari dari kejaran lebah-lebah yang marah. Hei, Barden! Ayahmu memanggilmu. Tiba-tiba suara Ahmed mengehentikan kobaran cerita Barden. Yang benar saja?! Aku belum selesai bercerita!! keluh Barden. Lagipula untuk apa? Ahmed menunjuk ke arah pinggir pantai di mana sekelompok pria dewasa sedang mempersiapkan beberapa jaring lebar yang diambil dari perahu besar milik sekumpulan pria itu sendiri.Barden mengerutkan kedua alisnya. Begitu pun dengan sekumpulan anak-anak kecil yang sedari tadi mendengar cerita Barden. Hah? Mulut Barden sedikit menganga. Bukankah ini Sabtu? Barden berlarian menghampiri sekumpulan pria dewasa yang sedang menyiapkan jaring besar. Ahmed pun mencoba mencari tahu dengan mengikuti Barden dari arah belakang. Ayah! Sedang apa? tanya Barden. Lihatlah! Pagi ini ikan-ikan muncul di permukaan! ujar ayah Barden, Mulha, dengan semangat. Sungguh hebat. Begitu pun pada Sabtu-Sabtu yang telah lalu. Mereka selalu muncul setiap Sabtu sedemikian banyaknya. Maaf, Ayah! Bukankah ini Sabtu? tanya Barden menegur. Mulha mengangguk. Aku sudah menyebutkannya tadi! Maaf, Ayah! Bukankah pada hari Sabtu kita tidak boleh memancing? Kini, Mulha menatap lekat Barden. Kami tidak memancing, Anakku. Kami hanya memasang beberapa jaring yang akan kami ambil pada sore nanti.Barden tak bisa menjawabi kata-kata Mulha. Namun terlihat di wajahnya ada kebimbangan yang tak enak dilihat. The best time to learn about mobil keluarga ideal terbaik indonesia is before you're in the thick of things. Wise readers will keep reading to earn some valuable mobil keluarga ideal terbaik indonesia experience while it's still free.
Siapa yang mengajarimu bahwa pada hari Sabtu kita tidak boleh memasang jaring, hah? ujar Mulha, menantang anaknya. Barden menoleh ke arah Ahmed yang sedari tadi ia sadari kedatangannya. Ahmed hanya memandangi Barden seolah menunggu jawaban yang akan keluar dari lidahnya. Jika kau tak mau membantuku, lebih baik kau pergi dari sini! perintah Mulha. Lalu, setelah itu, matanya menyadari keberadaan Ahmed dan berkata, Dan kau, pemuda kecil! Katakan kepada ayahmu bahwa sungguh ia akan merugi jikala ia tak memasang jaring pada hari Sabtu sepertiku ini. ?¥? Awalnya Mulha dan orang-orangnya yang memasang jaring pada hari Sabtu. Lalu sekolompok orang lainnya mengikuti jejak Mulha. Makin lama, kabar itu tersiar luas. Sehingga, ada semacam pertentangan secara dingin yang ditunjukkan kaum di negeri itu. Beberapa penduduk mencoba memperingatkan yang lain, beberapa lainnya hanya diam, dan sisanya seperti Mulha. Hingga suatu hari, berkumpulah penduduk nelayan di suatu tempat di mana seorang saleh bernama Musa mengundang mereka. Saat itu, Ahmed dan Barden tak ketinggalan menghadiri pertemuan tersebut. Orang saleh bernama Musa itu menanyakan perihal jaring yang dipasang pada hari Sabtu oleh beberapa nelayan. Ia mengingatkan perihal perjanjian para penduduk di negeri itu yang menyatakan mereka tidak akan berurusan dengan keduniawian pada hari Sabtu melainkan mereka hanya beribadah kepada Tuhan. Kami tentu tak lupa, hei Musa! jawab seseorang yang tidak lain adalah Mulha, ayah Barden. Kami tidak memancing ikan seperti hari-hari lain. Kami hanya memasangkan jaring agar ikan-ikan yang muncul dan melewati daerah jaring tertangkap. Dan kami hendak pergi ke tengah dengan jaring ini karena di sana ikan melimpah ruah jumlahnya. Raut wajah Musa tak berubah. Akan tetapi, beberapa raut wajah sebagian penduduk seolah menunjukkan ketidaksukaan pada jawaban Mulha. Hei, Mulha! Bagaimana pun yang kau lakukan itu tetap saja bertujuan menangkap ikan, balas seseorang bernama Hamer, yang dikenal penduduk nelayan sebagai orang yang sangat taat akan ajaran nabi Musa. Tentunya semua orang tahu itu, Mulha." Ahmed dan Barden memandangi setiap orang yang hadir. Mereka mengeluarkan argumen mereka masing-masing. Ada yang setuju dengan pendapat Mulha, ada yang setuju dengan pendapat Hamer, dan ada yang diam saja. Aku tak mengerti kenapa ikan-ikan justru muncul pada saat kami seharusnya beribadah. Sedangkan pada hari lain selain Sabtu, mereka tak bermunculan dan sulit bagi kami mendapatkannya. Apakah kau mempermainkan kami, hai Musa yang menaati ajaran nabi Musa? tanya Mulha. Lalu orang saleh bernama Musa itu menjawabi, Bukankah kalian sendiri yang bersepakat pada hari Sabtu untuk tidak berurusan dengan keduniawian. Lalu, kenapa kalian sendiri yang mengingkari dan menjawabinya? Kalian akan mendapat hukuman atas pelanggaran hukum yang kalian sepakati sendiri, sambung Musa dengan nada datar. Mulha dan penduduk lain yang dimaksudkan Musa menatap sinis ke arahnya. Mereka tidak memperdulikan peringatan yang disampaikan Musa. Jika memang begitu adanya, apakah kami akan diazab oleh Tuhan, Musa? tanya Mulha dengan nada meremehkan. Musa mengangguk. Beberapa penduduk mulai tidak suka dengan nada bicara Mulha, walaupun ada sebagian yang mengikuti Mulha, dan juga ada sebagian yang diam saja. Hei, Musa! Kenapa kau peringatkan kami jikala kau sudah tahu bahwa kami akan mendapat azab dengan pelanggaran itu? Seorang lelaki bertubuh gempal melemparkan pertanyaan ke arah Musa.Ahmed dan Barden menoleh ke arah lelaki itu. Padahal, sedari tadi lelaki gempal itu diam saja. Tidak menunjukkan setuju dengan perbuatan dan pendapat Mulha juga tidak menunjukkan reaksi dengan apa yang dikatakan Musa sampai pertanyaannya tadi. Aku memeperingatkan kalian agar lepas tanggunganku di akhirat nanti. Jikala Tuhanku bertanya tentang teman-temanku yang durhaka, akan kukatakan pada-Nya bahwa aku telah memperingatkan mereka sebelum azab atau hukuman datang, jawab Musa, dengan begitu, lepaslah tanggung jawabku pada hari nanti, kala aku dipertanyakan. Tak ada pertanyaan lagi setelah Musa menjawab itu. Barden memandangi ayahnya lekat-lekat. Lalu matanya berputar memandangi sekelilingnya. Setelah itu, pandangannya jatuh kepada Ahmed yang berdiri di sampingnya. Kenapa aku tidak suka dengan sikap ayah ya, Ahmed? tanya Barden berbisik. Sepertinya ayah itu bodoh. Ahmed melirik ke arah Barden. Maksudmu? Ayah seperti kera yang waktu itu menabrak sarang lebah, ujar Barden, yang sudah diperingatkan namun tak bergeming. Barden terus menatap ayahnya dengan pandangan heran. Wajah polosnya terbaca jelas seolah ia sedang memikirkan sesuatu dan hendak mengatakannya. Namun, kumpulan orang-orang yang berdebat itu telah bubar sebelum Barden sempat menyimpulkan pemikirannya yang polos. Musa si saleh dan sebagian penduduk pergi meninggalkan pantai. Sedangkan ayahnya dan beberapa penduduk lelaki lainnya mendorong kapal mereka ke arah laut. Tinggalah Ahmed di sampingnya, memperhatikan Barden seolah menunggu sesuatu. Apa yang hendak kau katakan, kawan? tanya Ahmed. Barden menunjuk gerombolan ayahnya dan perahu-perahu mereka sambil berkata, Mereka sudah menjadi kera!! Aih, mereka itu kera! Mata Ahmed mengikuti jari Barden yang mengarah kepada sekumpulan orang yang pergi memancing pada hari Sabtu. Iya, Barden. Kali ini kau benar. Pikiran mereka sepertinya telah menyerupai pikiran kera. Mereka nakal dan tak bisa diperingatkan. Aih, aih, aih Barden mengeluh sendiri sambil menepuk-tepuk kepalanya. Ayahku adalah seekor kera! Aih
Siapa yang mengajarimu bahwa pada hari Sabtu kita tidak boleh memasang jaring, hah? ujar Mulha, menantang anaknya. Barden menoleh ke arah Ahmed yang sedari tadi ia sadari kedatangannya. Ahmed hanya memandangi Barden seolah menunggu jawaban yang akan keluar dari lidahnya. Jika kau tak mau membantuku, lebih baik kau pergi dari sini! perintah Mulha. Lalu, setelah itu, matanya menyadari keberadaan Ahmed dan berkata, Dan kau, pemuda kecil! Katakan kepada ayahmu bahwa sungguh ia akan merugi jikala ia tak memasang jaring pada hari Sabtu sepertiku ini. ?¥? Awalnya Mulha dan orang-orangnya yang memasang jaring pada hari Sabtu. Lalu sekolompok orang lainnya mengikuti jejak Mulha. Makin lama, kabar itu tersiar luas. Sehingga, ada semacam pertentangan secara dingin yang ditunjukkan kaum di negeri itu. Beberapa penduduk mencoba memperingatkan yang lain, beberapa lainnya hanya diam, dan sisanya seperti Mulha. Hingga suatu hari, berkumpulah penduduk nelayan di suatu tempat di mana seorang saleh bernama Musa mengundang mereka. Saat itu, Ahmed dan Barden tak ketinggalan menghadiri pertemuan tersebut. Orang saleh bernama Musa itu menanyakan perihal jaring yang dipasang pada hari Sabtu oleh beberapa nelayan. Ia mengingatkan perihal perjanjian para penduduk di negeri itu yang menyatakan mereka tidak akan berurusan dengan keduniawian pada hari Sabtu melainkan mereka hanya beribadah kepada Tuhan. Kami tentu tak lupa, hei Musa! jawab seseorang yang tidak lain adalah Mulha, ayah Barden. Kami tidak memancing ikan seperti hari-hari lain. Kami hanya memasangkan jaring agar ikan-ikan yang muncul dan melewati daerah jaring tertangkap. Dan kami hendak pergi ke tengah dengan jaring ini karena di sana ikan melimpah ruah jumlahnya. Raut wajah Musa tak berubah. Akan tetapi, beberapa raut wajah sebagian penduduk seolah menunjukkan ketidaksukaan pada jawaban Mulha. Hei, Mulha! Bagaimana pun yang kau lakukan itu tetap saja bertujuan menangkap ikan, balas seseorang bernama Hamer, yang dikenal penduduk nelayan sebagai orang yang sangat taat akan ajaran nabi Musa. Tentunya semua orang tahu itu, Mulha." Ahmed dan Barden memandangi setiap orang yang hadir. Mereka mengeluarkan argumen mereka masing-masing. Ada yang setuju dengan pendapat Mulha, ada yang setuju dengan pendapat Hamer, dan ada yang diam saja. Aku tak mengerti kenapa ikan-ikan justru muncul pada saat kami seharusnya beribadah. Sedangkan pada hari lain selain Sabtu, mereka tak bermunculan dan sulit bagi kami mendapatkannya. Apakah kau mempermainkan kami, hai Musa yang menaati ajaran nabi Musa? tanya Mulha. Lalu orang saleh bernama Musa itu menjawabi, Bukankah kalian sendiri yang bersepakat pada hari Sabtu untuk tidak berurusan dengan keduniawian. Lalu, kenapa kalian sendiri yang mengingkari dan menjawabinya? Kalian akan mendapat hukuman atas pelanggaran hukum yang kalian sepakati sendiri, sambung Musa dengan nada datar. Mulha dan penduduk lain yang dimaksudkan Musa menatap sinis ke arahnya. Mereka tidak memperdulikan peringatan yang disampaikan Musa. Jika memang begitu adanya, apakah kami akan diazab oleh Tuhan, Musa? tanya Mulha dengan nada meremehkan. Musa mengangguk. Beberapa penduduk mulai tidak suka dengan nada bicara Mulha, walaupun ada sebagian yang mengikuti Mulha, dan juga ada sebagian yang diam saja. Hei, Musa! Kenapa kau peringatkan kami jikala kau sudah tahu bahwa kami akan mendapat azab dengan pelanggaran itu? Seorang lelaki bertubuh gempal melemparkan pertanyaan ke arah Musa.Ahmed dan Barden menoleh ke arah lelaki itu. Padahal, sedari tadi lelaki gempal itu diam saja. Tidak menunjukkan setuju dengan perbuatan dan pendapat Mulha juga tidak menunjukkan reaksi dengan apa yang dikatakan Musa sampai pertanyaannya tadi. Aku memeperingatkan kalian agar lepas tanggunganku di akhirat nanti. Jikala Tuhanku bertanya tentang teman-temanku yang durhaka, akan kukatakan pada-Nya bahwa aku telah memperingatkan mereka sebelum azab atau hukuman datang, jawab Musa, dengan begitu, lepaslah tanggung jawabku pada hari nanti, kala aku dipertanyakan. Tak ada pertanyaan lagi setelah Musa menjawab itu. Barden memandangi ayahnya lekat-lekat. Lalu matanya berputar memandangi sekelilingnya. Setelah itu, pandangannya jatuh kepada Ahmed yang berdiri di sampingnya. Kenapa aku tidak suka dengan sikap ayah ya, Ahmed? tanya Barden berbisik. Sepertinya ayah itu bodoh. Ahmed melirik ke arah Barden. Maksudmu? Ayah seperti kera yang waktu itu menabrak sarang lebah, ujar Barden, yang sudah diperingatkan namun tak bergeming. Barden terus menatap ayahnya dengan pandangan heran. Wajah polosnya terbaca jelas seolah ia sedang memikirkan sesuatu dan hendak mengatakannya. Namun, kumpulan orang-orang yang berdebat itu telah bubar sebelum Barden sempat menyimpulkan pemikirannya yang polos. Musa si saleh dan sebagian penduduk pergi meninggalkan pantai. Sedangkan ayahnya dan beberapa penduduk lelaki lainnya mendorong kapal mereka ke arah laut. Tinggalah Ahmed di sampingnya, memperhatikan Barden seolah menunggu sesuatu. Apa yang hendak kau katakan, kawan? tanya Ahmed. Barden menunjuk gerombolan ayahnya dan perahu-perahu mereka sambil berkata, Mereka sudah menjadi kera!! Aih, mereka itu kera! Mata Ahmed mengikuti jari Barden yang mengarah kepada sekumpulan orang yang pergi memancing pada hari Sabtu. Iya, Barden. Kali ini kau benar. Pikiran mereka sepertinya telah menyerupai pikiran kera. Mereka nakal dan tak bisa diperingatkan. Aih, aih, aih Barden mengeluh sendiri sambil menepuk-tepuk kepalanya. Ayahku adalah seekor kera! Aih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar